artikel pengetahuan lingkungan
GREEN POLITICS VS POWER POLITICS
Oleh: Anis Kurniawan )*
Isu lingkungan menjadi semakin termarjinalkan dengan kemunculan isu "security and peace" yang kembali menjadi agenda politik global dunia. Sedangkan usaha penyelesaian masalah lingkungan terus menjadi lip service baik negara maju maupun negara berkembang tanpa ada realisasi konkret untuk mengatasi permasalahan tersebut. Padahal dalam lingkup internasional, berbagai institusi internasional berupa rezim lingkungan terus diprakarsai sebagai usaha menjadikan isu lingkungan dalam politik global dunia. Kemunculan rezim lingkungan internasional ditandai oleh pelaksanaan Stockholm Conference pada tahun 1972. Konferensi ini tidak memiliki signifikansi yang besar dalam politik global karena negara blok komunis memboikot pertemuan tersebut. Meskipun demikian, konferensi ini menjadi awal dari kemunculan isu lingkungan di panggung politik global.
Pembahasan isu lingkungan pada level global kembali mencuat yang ditandai dengan pelaksanaan Rio Conference pada tahun 1992. Sebenarnya yang diuntungkan oleh konferensi ini adalah kelompok perusahaan multinasional yang menjadi aktor dominan dalam menentukan konsepsi penyelesaian masalah lingkungan. Padahal sebagai mana yang kita ketahui, selama ini, kelompok inilah yang selalu menjadi penyebab petaka lingkungan. Alhasil lahirlah konsep sustainable development yang tak lain merupakan hasil kompromi antara perwakilan grup perusahaan, delegasi negara, dan aktivis lingkungan.
Paradoks rezim internasional terlihat jelas tatkala Protokol Montreal yang mengatur pelarangan CFC dalam rangka mengurangi penipisan ozon disepakati sebagai rezim internasional. Namun Protokol Kyoto yang mengatur masalah Pemanasan Global, hingga sekarang, tidak juga efektif karena AS sebagai penyumbang emisi gas CO terbesar di dunia terkesan agah-ogahan untuk meratifikasi Protokol Kyoto dengan alasan ratifikasi Protokol Kyoto sama saja menghancurkan industri domestik AS.
Pada level internasional, power politics masih memainkan peranan yang besar dalam pembentukan rezim internasional sehingga mustahil menciptakan rezim lingkungan internasional yang adil dan konsisten. Bila rezim lingkungan internasional merugikan negara besar, terutama AS, dapat dipastikan rezim tersebut tidak akan efektif sebagai sebuah rezim internasional yang bisa dipatuhi dan diikuti. Keadaan ini memaksa para aktivis lingkungan mengkaji lagi efektivitas rezim lingkungan pada level internasional.
Banyak yang melihat paradigma penyelesaian masalah lingkungan selama ini sangat antroposentris dengan melihat adanya dualisme antara lingkungan dan manusia. Green politics dengan dua konsep utamanya; keberlanjutan ekologis (ecological sustainability) serta desentralisasi tata kelola lingkungan, menjadi jalan alternatif bagi penyelesaian masalah lingkungan yang biasanya bertumpu pada konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan pembentukan rezim lingkungan internasional yang terbukti belum dapat menyelesaikan problem lingkungan dunia. Green politics menolak pandangan antroposentris dalam menganalisa permasalahan lingkungan hidup. Bila dilihat lebih jauh, konsep sustainable development sarat akan pandangan antroposentrisme yang menitikberatkan kepada pembangunan yang berkelanjutan daripada keberlanjutan lingkungan.
Sejatinya memang mesti ada institusi lingkungan hidup yang mengatur dan menyelesaikan permasalahan lingkungan. Namun institusi ini tidak berada pada level global sebagaimana yang selama ini dicoba untuk dibentuk dalam bentuk rezim lingkungan internasional. Institusi global telah gagal menghasilkan penyelesaian permasalahan lingkungan sebab ia harus berhadapan dengan permainan power politics dalam sistem antar-negara. Green politics menawarkan konsep desentralisasi sebagai strategi implementasi kontrol yang baik dalam mengatasi permasalahan lingkungan. Green politics meyakini implementasi kontrol level global dapat lebih efektif dilaksanakan dalam skala yang lebih kecil yakni skala komunitas lokal yang langsung memiliki interdependensi terhadap alam sekitar dalam kehidupan mereka.
Kebijakan desentralisasi lingkungan hidup berimbas kepada tumbuhnya small scale democratic communities yang dapat menciptakan keberlanjutan lingkungan ketimbang rezim internasional antar-negara yang dipenuhi dengan permainan power politics. Dengan konsep ini, penyelesaian masalah lingkungan lebih menitikberatkan dimensi etis kearifan lokal yang dimiliki setiap masyarakat lokal daripada penyelesaian masalah lingkungan berbasiskan teknologi tinggi. Implementasi langsung dari konsep desentralisasi lingkungan hidup yang dicetuskan kalangan green politics adalah mengembangkan konsep Demokrasi Ekologi Desa. UU no. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah memungkinkan masyarakat desa untuk kembali memiliki hak-hak dasar mereka yang meliputi hak partisipasi dalam melestarikan lingkungan melalui kearifan lokal unik yang dimiliki oleh beragam desa di Indonesia.
Desentralisasi institusi lingkungan hidup tidak semata-mata kebijakan membebankan penyelesaian lingkungan hidup pada tataran unit terkecil seperti desa. Desentralisasi lebih diarahkan untuk menggapai penyelesaian masalah lingkungan yang plural sesuai dengan konteks lingkungan di masing-masing daerah tanpa harus tersentralisasi dalam perdebatan-perdebatan penuh dengan hasrat kepentingan sebagaimana yang terjadi pada level global. Dengan adanya otonomi daerah dan semakin berwenangnya desa dalam pelestarian ekologis di Indonesia, merupakan modal bagi Indonesia untuk mengimplementasikan desentralisasi tata kelola lingkungan hidup sebagai upaya alternatif menyelesaikan permasalahan lingkungan.
)* Penulis adalah mahasiswa jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang
Halaman gambar:
VS
NON SENSE ?
BUMI HIJAU
&
KEMAKMURAN
MANUSIA
Senin, 08 April 2002
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar