FUNDAMENTALISME, SEKULARISME, KEMISKINAN
DAN KERUSAKAN EKOLOGIS
Oleh: Anis Kurniawan )*
Tiga trend utama dalam dunia dewasa ini adalah Globalisasi, Urbanisasi dan Migrasi. Globalisasi yang diikuti dengan perkembangan teknologi –komunikasi yang canggih, membuat dunia menjadi sebuah kampung Global dan transparan. Migrasi dan Urbanisasi membawa sebuah pesan baru bagi dunia, bahwa setiap individu dalam seluruh perkembangan dunia memiliki hak yang sama untuk hidup kapan dan di mana saja. Migrasi dan urbanisasi menjadi trend yang menunjukkan hal yang hakiki untuk manusia, seperti perubahan taraf hidup sesuai dengan isi dari Dokumen Hak Asasi Manusia PBB point ketiga yang secara jelas menengaskan bahwa" setiap manusia memiliki hak untuk hidup, bebas dan kepastian atau jaminan hidup. Akselerasi dari ketiga trend di atas tidak hanya bersifat positif tetapi juga bersifat negatif. Fundamentalisme Agama dan sekularisasi tumbuh berdampingan. Jurang antara negara yang kaya dan negara miskin tak dapat diperkecil. Kerusakan ekologi menyebabkan perubahan cuaca yang tidak menentu.
Fundamentalisme beragama dalam dunia yang semakin mengglobal merupakan sebuah corak dan warna khusus dari sekian banyak umat manusia yang secara negatif atau tidak memahami agama sebagai sebuah media bagi perdamaian dan solidaritas umat manusia. Dapat dikatakan fundamentalisme adalah sebuah simbol ketakutan rohani irasional dan tidak proporsional dalam menghadapi perkembangan dunia dan pertanyaan tentang Tuhan sebagi sumber Kebenaran. Fundamentalisme tidak lain adalah sebuah kekerasan yang bersifat rohani dan menjual Tuhan atas dasar ketidakpahaman tentang Tuhan sebagai sumber perdamaian. Dengan itu, lahirlah Kelompok-kelompok garis keras dan Terorisme yang mengatasnamakan Agama. Fundamentalisme yang dibarengi dengan pandangan bahwa Tuhan agamaku (kami) adalah yang paling benar dan harus diikuti menjadi racun bagi eksistensi agama.
Di sisi lain, sekularisme menjadi sebuah keyakinan baru bagi manusia, bahwa kebebasan absolut menjadi sebuah jalan menuju surga. Di sini, segala dinamika kehidupan selalu direduksikan ke dalam tanggunjawab setiap individu. Setiap individu adalah bebas. Dengan itu, Sekularisme tidak hanya menujukkan sebuah oposisi terhadap agama (agama sebagai urusan pribadi), tetapi lebih dari itu menunjukan sebuah gejala kehilangan komunikasi sosial baru. Gejala kehilangan komunikasi sosial seperti ini, justru terlekat pada kabsolutan kebebasan pribadi. Etika untuk menata hidup bersama demi sebuah keharmonisan dianggap penghalang dan kuno. Sekularisme yang mengagungkan kebebasan pribadi, bebas dari agama dan etika yang berlaku umum tidak hanya menimbulkan efek yang positif tetapi juga menimbulkan dampak negatif. Manusia merasa asing dalam masyarakat.
Ciri ketiga dari trend-trend di atas adalah kemiskinan global. Komputerisasi dunia kerja menjadi pemicu sebuah persaingan di dunia kerja dengan motto Survievel of the fittest, menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan. Dampak dari sistem seperti ini, kemanusiaan dicampakkan dalam sebuah syarat. Sistem seperti ini dimulai di negara-negara industri dan sekarang menjadi sebuah trend yang mengglobal. Dengan adanya sistem komputerasasi dan robotinisasi dunia kerja, manusia hidup dalam sketsa yang distandarkan pada daya kerja komputer dan robot. Dalam situasi seperti ini kemanusiaan terpaksa disisihkan. Prinsip ekonomi menganjurkan untuk menanam sedikit tapi menuai keuntungan yang besar, hal tersebut mendorong terlahirnya pekerja-pekerja dengan upah yang rendah dan tidak sebanding dengan waktu dan jam kerja. Situasi seperti ini mendorong terciptanya jurang pemisah yang tidak dapat diperkecil antara yang kaya dan yang miskin. Sehingga tidak heran proses pemiskinan global tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang, tetapi juga negara-negara maju seperti Amerika dan Uni-Eropa. Ironisnya, ditengah gemerlapnya perkembangan industri, jumlah penduduk miskin di setiap sudut dunia bertambah.
Kemiskinan global dewasa ini diperparah dengan pengerusakan ekologi. Perusakan marga dan satwa membawa dampak negatif bagi keharmonisan sistem ekologis. Lebih jauh akibat dari kerusakan ekologi menyebabkan perubahan cuaca yang tidak menentu. Perubahan cuaca yang tidak menentu disertai dengan berbagai bencana alam seperti Banjir,Tsunami dan gempa bumi, pengikisan tepi pantai dan pegunungan seperti yang terjadi akhir-akhir ini, membawa dampak negatif bagi manusia dan alam itu sendiri.
Menghadapi situasi global yang kritis seperti ini setiap individu dipanggil untuk membangun sebuah kekuatan bersama. Kekuatan bersama yang dilandasi oleh pemikiran kritis-rasional, dialogis, dan respek terhadap kemanusiaan dan alam mendorong terlahirnya sebuah solidaritas universal demi sebuah keselamatan universal dan civil society yang harmonis. Solidaritas global ini dapat mempertemukan berbagai aspirasi dari setiap golongan, kelompok,, agama, suku, ras dan aliran politik, ilmuwan dan agamawan untuk secara bersama menemukan terobosan-terobosan baru agar dunia kita secara perlahan keluar dari situasi yang kritis.
Ini menjadi sebuah prinsip atau landasan utama untuk bahu membahu mengatasi persoalan-persoalan dunia. Sejalan dengan prinsip ini, kita perlu menumbuhkan cara berpikir global untuk membaca, memahami dan berusaha mencari alternative mengatasi berbagai persoalan-persoalan dunia. Cara berpikir global seperti ini menujukkan adanya sebuah kepedulian sosial atas alam sekitar kita yang menjadi tempat berpijak dan berinteraksi. Implementasi praktis dari cara kepedulian tanpa batas ini, dapat diwujudkan dalam tindakan-tindakah konkrit dalam menghadapi persoalan-persolan lokal. Dapat dikatakan bahwa saat ini fundamentalisme beragama, sekularisme, kemiskinan dan kerusakan ekologis merupakan persoalan-persoalan yang terjadi di setiap lokasi di mana manusia hidup.
)* Penulis adalah mahasiswa jurusan Biologi FMIPA Universita Negeri Malang angkatan 2005
Selasa, 01 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar